Istilah ekonomi swadeshi dikenalkan oleh tokoh besar India, Mahatma Gandhi, nama lengkapnya Mohandas Karamchand Gandhi, setelah kepulangannya ke India dari melanglang buana di Afrika Selatan di akhir abad 19-awal abad 20.
Tiba di India, Gandi mendirikan Ashram dimana pengikutnya harus mengikuti sumpah bahwa mereka hanya akan mengatakan kebenaran, berpegang pada prinsip nir-kekerasan, menjalani kehidupan salibat (tanpa menikah), mengendalikan selera makan, tidak mencuri, tidak mempunyai hak milik, menerapkan prinsip swadeshi, tidak takut, serta siap menerima dan memperlakukan kaum tak berkasta (kaum paria) setara dengan dirinya.
Gandhi khawatir, kecenderungan atas kemajuan material yang tidak terbatas dapat menjadi rintangan bagi pencapaian kemajuan kemanusiaan, khususnya kemajuan moralitas. Dia berkeyakinan bahwa dalam kehidupan manusia, pertumbuhan dan perkembangan aspek material dan nonmaterial harus berjalan seimbang dan harmonis. Dalam ranah ekonomi, eksploitasi adalah esensi dari kekerasan, dan di dalam eksploitasi tidak akan pernah ada ruang bagi pemerataan produksi dan pemerataan pemakmuran.
Gandhi merumuskan prinsip-prinsip dan hukum ekonomi yang tepat dengan mengacu pada ajaran-ajaran yang disarikan dari Kitab-kitab suci berbagai agama besar di dunia, bukannya berpegang pada risalah atau teori-teori ekonomi dari para ahli. Penolakan terhadap motif ekonomi murni (liberal), yaitu motif mementingkan kepentingan sendiri, dan penegasan pertimbangan faktor kemanusiaan, dalam ranah ekonomi, menurut Gandhi akan melahirkan dua prinsip dasar. Pertama; semangat pelayanan dan pengorbanan harus menjadi bagian hidup seseorang dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan seluruh masyarakat. Kedua; penyelenggaraan ekonomi harus didasarkan pada etika. Hal ini harus menjadi prinsip dasar apa-bila ilmu ekonomi benar-benar hak diterapkan untuk mensejahterakan manusia. Menurutnya, manusia tak bisa hidup dari motif ekonomi semata. Oleh karena itu, tatanan ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan manusiawi harus berpegang pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia.
Secara khusus Gandhi telah mengingatkan adanya sejumlah efek merusak yang ditimbulkan oleh ketidakmanusian sistem produksi modern dalam memperlakukan manusia. Cinta dan kasih sayang akan mendapatkan perwujudannya terutama melalui hubungan interpersonal, sebuah hubungan dimana pribadi manusia merupakan tujuan utama dan sebuah relasi yang memberikan perhatian tulus terhadap manusia. Relasi semacam itu akan memberikan kekuatan yang sangat besar untuk memotivasi produktivitas. Lebih jauh, Gandhi juga menyadari akan keberadaan hukum ilahi bahwa manusia harus mendapatkan makanannya melalui bekerja dengan menggunakan tangannya sendiri. Prinsip tentang kerja mencari nafkah harus dikaitkan dengan sifat martabat dan kesetaraan manusia. Kehormatan manusia bisa dikaitkan dengan kehormatan kerjanya. Kata Gandhi "Ahims "-ku, tidak akan memberikan toleransi kepada satu gagasan tentang pemberian makanan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak bekerja dengan cara-cara yang jujur".
Gandhi memandang bahwa ekonomi yang dilekati oleh karakter kerakusan dan kecenderungan untuk melipatgandakan keinginan-keinginan dan kebutuhan manusia dalam tingkatan yang tidak terbatas serta cenderung mengabaikan penegakan kekuatan dan prinsip-prinsip moral, pasti tidak akan membawa manusia lebih dekat dengan kebahagiaan, kepuasan, dan kedamaian. Pertimbangannya adalah pelibatgandaan kebutuhan dan keinginan dalam tingkat yang tak terbatas sesungguhnya bukan merupakan ungkapan dari keinginan manusia untuk menjadi lebih baik dan lebih uas dalam pemenuhan kebutuhannya dan penciptaan keinginan yang tidak ada batasnya dan selalu berusaha memenuhi semua keinginan tersebut bukanlah satu proses yang mengarah kepada kemajuan manusia, tetapi justru membawa manusia ke jurang kehancuran.
Meskipun tidak melalui proses kelimuan yang kompleks, ketika Gandhi menegaskan bahwa upah yang adil adalah kebutuhan nil, dia berulangkali menegaskan tentang hak pekerja untuk mendapatkan upah yang adil. Gandhi berpandangan bahwa keberadaan hukum yang menekankan adanya persaingan di lapangan kerja telah membawa akibat rendahnya upah yang diberikan kepada pekerja. Besaran upah yang adil adalah upah yang didasarkan kepada asas kelayakan dalam arti cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dalam hidup manusia.
Gandhi meyakini bahwa kebanyakan kejahatan ekonomi di dunia ini muncul dari monopolisasi atas alat-alat produksi, melalui sistem yang sangat efisien dan sentralistis. Keberatan tersebut didasarkan pada keuntungan atau laba yang sifatnya terbatas, konsentrasi produksi di beberapa wilayah menciptakan problem serius mengenai distribusi. Sentralisasi sebagai sebuah sistem tidak sesuai dengan struktur masyarakat yang didirikan di atas prinsip nir-kekerasan, sentralisasi tidak sesuai dengan penegakan paham, yaitu penerapan nilai pada pengendalian diri yang sesungguhnya dan ketidakpercayaan pada peradaban industri modern yang menciptakan efisiensi.
Penolakan terhadap industrialisasi dalam skala besar merupakan salah satu metode yang sangat prinsip bagi kemajuan ekonomi India padasaat itu. Gandhi mengatakan bahwa desentralisasi ekonomi yang merupakan sistem yang mengedepankan aktivitas ekonomi utama harus dilakukan di seluruh wilayah pedesaan India. Dalam pandangannya, sistem desentralisasi ekonomi sejalan dengan semangat ahimsa dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat India. Pandangan inilah yang kemudian melahirkan konsep industri kecil pedesaan, Swasembada, dan Swadeshi.
Desentralisasi sebagaimana digambarkan Gandhi dalam bentuk industri kecil yang melibatkan desa-desa, akan menjamin kesejahteraan seutuhnya bagi manusia melalui cara-cara berikut, pertama, produksi tidak berorientasi kepada pasar atau untuk meraih keuntungan dan juga tidak mengarah pada penciptaan jumlah kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas. Kedua, produksi yang berorientasi pada kemanfaatan merupakan satu benuk kewajiban swadeshi, yaitu kewajiban bahwa seseorang berkomitmen untuk membeli dan menggunakan barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh lingkungannya yang terdekat. Ketiga, kesederhanaan dalam hal pemenuhan keinginan dan kebutuhan. Keempat, Industri kecil harus disebarluaskan di seluruh desa. Kelima, tujuan penggunaan mesin bukannya "produksi massal" tetapi memfasilitasi "produksi oleh massa". Keenam, kaum buruh harus terdidik sehingga mereka paham akan hak-hak dan kewajiban mereka.
Kata Swadeshi merupakan turunan dari kata bahasa Sanskerta, Sandhi. Bisa juga dimaknai sebagai penggabungan dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, Swa yang berarti "diri" atau "mandiri" atau "sendiri" dan Desh yang berarti "negara". Bila digabungkan, artinya menjadi "negara sendiri". Sebagai kata sifat, Swadeshi dapat berarti "dari negara sendiri." Sejak dibangkitkan oleh Gandhi sepulangnya dari Afrika Selatan, Swadeshi menjadi gerakan yang dilembagakan dalam sebuah organisasi. Bahkan gerakan ini merupakan salah satu yang pernah sukses sebelum era Gandhi. Bermula dari pemisahan negara bagian Bengal dari koloni Inggris pada 1905, gerakan ini terus membesar hingga tahun 1908. Pada masa Gandhi, Swadeshi makin mendapatkan ruhnya ketika ia mendefinisikannya sebagai "panggilan bagi konsumen untuk waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan dari mendukung industri mereka (asing atau penjajah) yang menghasilkan kemiskinan dan berbahaya bagi para pekerja dan manusia serta makhluk-makhluk lain.
Saat ini, Swadeshi atau Swadesi bermakna dalam dan berkonotasi nasionalisme. Sehingga, tak jarang konsep ekonomi ini dibangkitkan lagi untuk mengurangi ketergantungan pada negara luar. Akan tetapi, dengan semakin luasnya pengaruh globalisasi yang mengakibatkan saling ketergantungan antar satu negara dengan negara lain, bisakah konsep ekonomi Swadeshi ini berkembang? Rasanya sulit.
Oleh: Prof IB Raka Suardana
Source: Majalah Wartam, Edisi 23, Januari 2017