PASRAMAN: Kecerdasan Moral Budi Pekerti

Tersebutlah kisah epik abadi yang disebut Ramayana, tersurat dengan tinta emas oleh Bhagawan Walmiki. Keindahan susastra itihasa itu tiada banding sehingga diceritakan di seluruh dunia sepanjang masa.

Agama Hindu meyakini kitab Ramayana merupakan kisah nyata yang menceritakan raja agung Prabu Rama dari Dinasti Surya atau Suryawangsa. Prabu Rama mewarisi tahta ayahandanya Prabu Dasarata yang mendirikan Kerajaan Kosala dengan ibu kota Ayodya Pura.

Prabu Rama atau disebut juga sebagai Ramachandra terlahir sebagai putra sulung Prabhu Dasarata. Menurut pandangan agama Hindu, Prabu Rama merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun pada zaman Tretayuga. Zaman yang berlangsung selama 1.296.000 tahun sebelum zaman Dwaparayuga. Zaman Tretayuga merupakan kelanjutan dari zaman Satyayuga, yaitu zaman ketika moral manusia sempurna. Sebagai awatara, Prabu Rama dipandang sebagai maryada purushottama yang artinya "manusia sempurna".

Meskipun Prabu Rama terlahir sebagai "manusia sempurna", pada masa remaja bersama ketiga adindanya, yaitu Bharata, Laksmana, dan Satrugna diperintahkan oleh ayahandanya Prabu Dasarata untuk mengikuti pendidikan di Pasraman Bhagawan Wasista. Di pasraman tersebut Prabu Rama diajarkan Ilmu Wasista Yoga.

***

Tentu yang dapat dipetik dari kisah Itihasa Ramayana itu berkaitan dengan pentingnya pendidikan. Agama Hindu memandang pendidikan merupakan sesuatu hal yang sangat penting sebagaimana terefleksi dari konten kisah Ramayana.

Menurut agama Hindu kehidupan manusia sepanjang hayat telah terbagi dalam siklus tahapan hidup yang disebut dengan catur asrama. Tahapan hidup pertama disebut brahmacari, yaitu tahapan kehidupan menempuh pendidikan. Kedua, tahapan kehidupan berumah tangga atau grehasta. Ketiga, tahapan kehidupan yang disebut wanaprasta, yaitu masa mengasingkan diri. Keempat, tahapan kehidupan yang disebut bhiksuka atau meninggalkan kehidupan duniawi.

Di antara keempat tahapan kehidupan tersebut pendidikan memegang peranan penting karena melintasi keseluruhan tahapan kehidupan. Pendidikan sejatinya telah dimulai dari masa seseorang dalam kandungan yang disebut prenatal education. Semenjak janin masih dalam kandungan, orang tua telah memberikan pendidikan dini. Dalam prakteknya prenatal education tersebut dilakukan dengan cara memperdengarkan sloka-sloka suci yang berasal dari Kitab Suci Weda maupun kitab itihasa dan purana.

Pada masa kecil atau masa pra sekolah, tentu yang paling berperan melakukan pendidikan ialah keluarga itu sendiri. Itulah sebabnya, tempat tinggal pemeluk agama Hindu disebut pakubon, paumahan, padukuhan, dan asrama. Di mana di dalamnya terdapat suatu proses edukasi. Tentu saja, pendidikan itu berkaitan dengan dua hal, yaitu pendidikan yang berkaitan dengan kehidupan material, ilmu hidup, ilmu yang mengintroduksi bagaimana cara memenuhi kehidupan material. Misalnya dengan cara bertani, berdagang, maupun jasa. Kedua, berkaitan dengan religiusitas, yaitu ilmu tentang ketuhanan. Namun demikian, dalam agama Hindu kedua lapangan kehidupan itu terintegrasi dalam sistem kehidupan religius. Pada saat bekerja, religiusitas tetap dijalankan mengikuti irama kehidupan. Pada saat orang bekerja di sawah, japa dilakukan saat mengerjakan sawah itu. Demikian pula saat berdagang, para pedagang senantiasa memuja Tuhan agar karunia dihadirkan kepada mereka.

Kehidupan Brahmacari, pada saatnya menurut agama Hindu dilakukan dalam sebuah sistem pasraman. Di mana pada saat itu, manusia mengejar ilmu pengetahuan sejati, yaitu pengetahuan tentang keTuhanan. Konotasi tahapan kehidupan brahmacari ialah masa belajar, masa menuntut ilmu pengetahuan, utamanya ilmu pengetahuan tentang keTuhanan (spiritual). Itulah sebabnya tahapan Brahmacari dijabarkan melalui mahawakya "brahmacarati iti brahmacari" atau mereka yang sedang berkecimpung dalam bidang pendidikan (menggali dan menemukan ilmu pengetahuan) disebut brahmacari. Seorang brahmacarin yang mampu mengendalikan diri terhadap segala nafsu, dinyatakan sebagai memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan seperti disebutkan dalam Atharva Weda XI.5.1 sebagai berikut.

"Brahmacaryena taf asa Raja rastram vi raksati acaryo brahmacaryena Brahmacarinam icchate"

Artinya:
Seorang raja, dengan sarana brahmacari, bisa melindungu bangsanya. Seorang pendidik (guru pembimbing), yang sedang menjalankan brahmacari sendiri, berkeinginan mengajar para siswanya yang saleh.

Sloka tersebut sunggu dalam maknanya. Tidak saja berkaitan dengan inteleginsia yang wajib dipupuk oleh pemeluk agama Hindu, namun juga berhubungan dengan didaktisitas kecerdasan moral dan budi pekerti. Pada gilirannya kecerdasan moral dan budi pekerti menjadi dasar segala inteligensia. Adakalanya intelegensia harus berdamai dengan kesepakatan moralitas sebagai kisi-kisi budi pekerti.

Itulah sebabnya, agama Hindu meyakini pada masa brahmacari, tahapan kehidupan manusia ditekankan untuk mengasah kecerdasan intelegensia yang harus disertai kecerdasan moral dan budi pekerti. IQ (intelligent quotation) itu penting, namun tidak cukup sebagai pegangan kehidupan. IQ perlu disertai kecerdasan sosial (SQ: social quotation), kecerdasan moral (MQ: morality quotation), kecerdasan emosional (EQ: emotional quotation), dan tentu saja harus disertai kecerdasan religius (RQ: religious quotation).

Oleh karena itu, apabila pada zaman Tretayuga moralitas tergugat dengan kehadiran amoralitas yang merajalela, sampai-sampai memerlukan kehadiran Bhatara Wisnu untuk menyirnakannya melalui penjelmaan sebagai Prabu Rama, maka pada Zaman Kaliyuga ini akan hadir awatara yang akan menegakkan moralitas sekaligus budi pekerti yang luhur seperti diajarkan dalam Kitab Suci Weda. Kalki Awatara yang diyakini akan lahir sebagai penjelmaan Bhatara Wisnu akan berperan menyimakan amoralitas sekaligus menegakkan budi pekerti. Baiklah, apabila kehadiran Kalki Awatara itu belum kunjung dirasakan kehadirannya. Angaplah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 56 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu sebagai ancangan pasti menuju "penyelamatan" umat manusia yang sesungguhnya oleh Bhatara Wisnu.

Pemegang otoritas pembinaan agama Hindu di Indonesia tentu saja diharapkan segera merealisasikan pasraman sebagai bentuk pembinaan pemeluk agama Hindu. Dengan landasan utama pada doktrin kecerdasan moral dan budi pekerti. Maksudnya, untuk mewujudkan kecerdasan moral dan budi pekerti itu, diperlukan pula kecerdasan inteligensia, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan religius. Untuk melegitimasinya, mari kita gali Ilmu Wasista Yoga yang diajarkan oleh Bhagawan Wasista kepada Prabu Rama.

Oleh: Jelantik Sutanegara Pidada
Source: Majalah Wartam, Edisi 23, Januari 2017