Yoga Sutra Patanjali: Samadhi Pada-Hakikat Penyatuan Agung

(Sebelumnya)

MEMASUKI YOGA SUTRA Konstelasi Batin Manusia dan Ideal Patanjali

Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha). Dengan demikian kesadaran-yang bertindak sebagai si pengamat - hanya bersandar pada kondisinya yang jernih. Sedangkan pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru menyamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut.
[YS 1.1-1.4]

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aforisme pendek yang padat makna. Dari keempat sutra ini, kita diperkenalkan pada Yoga, kondisi umum pikiran manusia, dan apa yang dapat diperbuat untuk itu. Manusia, makhluk berakal budi, dianugerahi manas dalam kelahirannya. Dari manas inilah lahir kata "manusa" atau "manusya" yang kemudian menjadi "manusia" dalam bahasa Indonesia dan human atau man dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaannya. Ia merupakan perabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya dengan makhluk Bumi lainnya.

Upanishad menegaskan, "Mana eva manushyanam karanam bandha mokshayoh - bagi manusia, manaslah yang menyebabkan perbudakan ataupun pencapaian Moksha." Dalam hierarki Sankhya manas menduduki posisi kunci di bawah keakuan, yang disebut asmita. Vedanta menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan, atau buddhi berada pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan. Sedangkan citta - kesadaran atau batin jernih - berada di atas buddhi dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas, dan tamas) - tiga kekuatan Prakrtti - tetapi belum terpengaruh olehnya. Citta turunan langsung dari Purusa - yang merupakan hakikat yang berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti - semesta material. Dari Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut "tiga kekuatan Prakriti".

Bila citta terpengaruh oleh tri guna dan didominasi oleh sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan menjadi buddhi, intelegensia. Dan bila citta dipengaruhi dan dinominasi oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Buddhi sangat jarang turut campur dalam pemerintahan ini. Ketika melayani ahamkara, manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-ambing, menimbulkan berbagai bentuk pemikiran dan perasaan. Inilah kondisi dalam pusaran-pusaran batin itu.

Konyolnya adalah, dalam ketidaktahuannya manusia justru mengidentifikasikan dirinya sebagai pikiran dan perasaan itu sendiri - vritti sarupya. Hanya bila dominasi asmita terhadap pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvika yang kedewataan akan menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, melalui pancaran cahaya Purusa di dalam batin manusia.

Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran

Modifikasi batin ada lima jenis, ada yang menyedihkan dan menyenangkan: penalaran (pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra), dan ingatan (smrti). Praktik langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana), dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama) membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik.
[YS 1.5 -1.7]

Pengetahuan yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih dahulu kekeliruan, imajinasi serta ingatan-ingatan yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu pengetahuan yang sahih, yang dapat dipertanggungjawabkan objektivitas dan kebenarannya. Malah tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan sama sekali (avidya), apalagi pengetahuan luhur (jnana). Sementara jnana diperoleh melalui tiga rangkaian proses yang masing-masing disebut pramana. Sebagai suatu rangkaian proses, yang saru dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna memperoleh jnana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktikkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar atau pun di dalam melahirkan pengalaman. Melalui praktik yang sama secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman di sini bisa berupa pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan, mereka serupa dengan kesan-kesan mental. Ingatan akan semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang. Dari fenomena batiniah ini terlahirlah laku Japa - pelafalan sebait mantra pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris ini disebut praytyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata "praktik" maupun "praktis" yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.

Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-sumber yang autentik dan layakk dipercaya maupun kitab-kitab yang terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini disebut agama atau sabda pramana - memperoleh pengetahuan dengan mendengarkan sabda-sabda suci pada guru suci dan kitab-kitab suci.

Namun, walaupun tak ada guru suci atau kitab suci yang didengar atau dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan, ataupun modelling test (upamana) serta membandingkannya dengan pengalaman-pengalaman sejenis lain-nya dan kemampuan analisis pribadi, tetap dapat ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan ini disebut anumana. Kehadiran upa-manapramana menjadikannya Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rsi Gautama dalam Nyaya Darsana-nya. Menurut beliau, ada empat aspek substantif yang mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni subjek (pramata), objek (prameya), kondisi hasil amatan (pramiti), dan cara mengetahuinya (pramana).

Kekeliruan merupakan pengetahuan keliru, yang tidak tersusun dari realitas. Pengetahuan yang dimunculkan oleh "citra kata-kata", tetapi tanpa dukungan objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi semata. Modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya keterjagaan penuh adalah tidur (nidra); dan kehadiran kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah ingatan yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru itu.
[YS 1.8-1.11]

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan (pancaviparyaya) dalam Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah Tamah, pikiran yang selalu ingin memperoleh kesenangan duniawi; Maha, keinginan untuk memperoleh delapan kemampuan adikodrati (asta aikudrya); Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala di samping asta aiswarya tadi; Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan - sebagai buah perbuatan - di kemudian hari; dan Andhatamisra, menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan memiliki andil besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh-seperti yang disebutkan dalam sutra 1.10 - bukanlah tidur pulas tanpa mimpi - yang disebut sushupti. Dala sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya, menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru vitalitas, dan kekuatan baru, serta menjadikannya prima untuk menghadapi "peperangan" keesokan harinya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif tanpa hadirnya keterjagaan sama sekali, seperti halnya nidra. Ia memiliki signifikansi filosofis spiritual yang mendalam. Kaum Vedantin mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf nondualis untuk menelusuri, meneliti, serta menemukan "sang sakti bisu" yang tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya bila diperoleh melalui pratyaksa, sabda atau agama, anumana, serta upamana, yang saling menunjang dan menguatkan sebelum menarik suatu kesimpulan akhir. Di sinilah subjektivitas dibentuk oleh pengalaman pribadi yang terbatas, berupa kekeliruan, angan-angan atau imajinasi subjektif, kehadiran objek-objek indrawi yang menyesatkan, maupun kelemahan dan keterbatasan ingatan ditiadakan.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari pengetahuan keliru ini? Inilah yang akan dibahas lebih detail lagi dalam sutra-sutra berikutnya.

KIAT MENGHADAPI MODIFIKASI PIKIRAN

Melalui pembiasaan terus-menerus (Abhyasa) dan tanpa keberpihakan dan keterikatan (Vairagya) modifikasi-modifikasi pikiran dan perasaan dihapuskan. Abhyasa adalah usaha terus-menerus pada jalan spiritual hingga menjadi suatu kebiasaan. Perhatian yang konstan dalam jangka waktu lama, dengan teguh dan tanpa jeda memantapkannya. Pandangan hidup yang bebas dari nafsu keinginan dan kecintaan pada pengalaman-pengalaman indrawi berikut objek-objeknya, serta tanpa keberpihakan dan keterikatan lagi padanya adalah Vairagya. Vairagya yang tertinggi dicapai tatkala munculnya kekuatan Purusa untuk menghentikan pengaruh guna, walaupun berupa keinginan yang sekecil apa pun.
[YS 1.12-1.16]

Paparan serupa ini kita temukan pula dalam Bagavad Gita VI. 35 :

"Tidak diragukan lagi,  oh ... Mahabahu, pikiran memang sulit dikendalikan, namun ia dapat dikuasai melalui pembiasan-diri (Abhyasa), ketidakmelekatan (Vairagya) pun dapat dicapai melaluinya".

Abhyasa dan Vairagya saling menguatkan Abhyasa dicapai melalui kesinambungan pelaksanaan laku spiritual (Sadhana); sesungguhnya antara Sadhana dan Abhyasa nyaris tiada beda. Mungkin dapat dikatakan bahwa Abhyasa adalah suatu kebiasaan dalam menjalankan Sadhana-sadhana bagi seorang penekun. Sudah barang tentu membiasakan sesuatu-apalagi sesuatu yang baik dan bernilai spiritual tidaklah mudah dan dapat diraih dalam waktu singkat.

Dalam konteks ini, Abhyasa ditujukan untuk mengendalikan dan meredam semua pusaran atau modifikasi batin. Menurut Sri Swami Sivananda, mengarahkan kembali pikiran kepada asalkan -Hrdaya Guha- dan menjadikannya tercerap dalam Atman adalah tugas Abhyasa; demikian pula dengan mengarahkan pikiran ke dalam untuk menghancurkan kecende¬rungannya mengarah ke luar. Hanya melalui Abhyasa saja, kesan-kesan mental dapat dibakar hangus.

Wrhaspati Tattwa melukiskan, mereka yang telah meraih Vairagya bagaikan raja yang kuat, yang telah menikmati kemenangan dalam peperangan. Semua kesenangan duniawi lewat munculnya kegandrungan terhadapnya tak lagi mengikatnya karena ia tak menginginkan semua itu lagi.

Menurut Sri Swami Sivananda, ada empat tingkatan Vairagya:

1. Yatamana : Ini dicirikan dengan adanya upaya untuk tidak membiarkan pikiran berlari menuju ladang sensualitas.
2. Vyatireka : Pada tingkat ini beberapa objek bisa saja menarik Anda, tetapi Anda berhasrat kuat untuk memo tong kelekatan dan ketertarikan Anda itu, dan sadar akan tingkatan Vairagya terhadap objek-objek yang berbeda-beda.
3. Ekendriya : Sensasi-sensasi sebagian masih berdiri tegak dan sebagian lagi telah tunduk, akan tetapi pikiran masih memiliki raga atau dvesha. Hanya sebatas pikiran saja atau hanya dalam pikiran sajalah sensasi itu berfungsi secara terpisah.
4. Vasirara; Pada tingkat Vairagya tertinggi ini, objek-objek tidak lagi menggoda. Mereka tidak lagi menimbulkan ketertarikan sama sekali. Sensasi tenang dengan sempurna. Pikiran pun terbebas dari suka-tak suka. Anda pun memperoleh kemenangan dan tanpa ketergantungan lagi. Tanpa Vairagya tidak ada kemajuan spiritual yang dimungkinkan.

SAMADHI, TAHAP PENCAPAIANNYA, DAN KEAMPUHAN 1SVARA-PRANIDHANA

Samprajhata dan Asamprajnata Samadhi

Penalaran yang tajam (vitarka), penyelidikan melalui perenungan mendalam (vicara), dan kebahagiaan (ananda) yang penuh kewaspadaan sebagai akibat dari penyatuan semesta dengan Sang Diri Jati, merupakan kondisi batin ketika tercapainya Samprajnata Samadhi.
[YS 1.17]

Dalam Samprajnata Samadhi, batin masih dicirikan dengan kehadiran empat kondisi yang mendahuluinya yakni vitarka, vicara, ananda, dan identifikasi diri sebagai asmita. Asmita atau keakuan merupakan pijakan yang hendak dilebur dalam kesadaran kosmis melalui penalaran di dalam, penyelidikan, atau perenungan mendalam.

Apabila penyatuan atau peleburan itu tercapai, maka tercapai pulalah, kebahagiaan sejati. Inilah yang disebut dengan Samprajnata Samadhi. Di sini, kebahagiaan dinikmati oleh "sang aku semu". Di sini hadir; "Aku menikmati kebahagiaan tertinggi". "Aku" masih eksis dan bertindak sebagai si penikmat. Sementara, ia sendiri justru merupakan salah satu klesa (penderitaan) bahkan yang paling hakiki untuk dilebur. Hadirnya aku sebagai si penikmat, yang mengidentifikasikan dirinya pada kebahagiaan itu, juga merupakan pertanda bahwa pusaran-pusaran batin masih aktif. (Mungkin) inilah sebabnya mengapa pencapaian Samadhi bukan yang tertinggi menurut idealisasi Patanjali.

Pemusnahan sisa-sisa kesan mental yang masih mengisi pikiran, melalui Vairagya dan Abhyasa, mengondisikan terjadi penyatuan sempurna dalam eksistensi yang tiada terbedakan, tanpa wujud, yang juga berarti musnahnya pengaruh Prakriti, di samping kuatnya iman (sraddha), semangat dan kegigihan (virya), daya ingat yang kuat, dan bersinarnya kebijaksanaan.
[YS 1.18-1.20]

Asamprajnata Samadhi, merupakan pencapaian tertinggi, disejajarkan dengan Nirbija atau Nirvikalpa Samadhi oleh Swami Satya Prakas Saraswati. Samadhi ini terutama dicirikan dengan musnahnya pengaruh kekuatan Prakriti yang berupa triguna itu. Patanjali masih menyebut-nyebut beberapa pencapaian dan kondisi batiniah "yang mendahuluinya" dalam tiga suara tadi.

Pencapaian yang mendahului itu adalah Vairagya, Abhyasa, smrti, dan prajna. Kondisi batiniah yang dimaksud adalah sraddha dan virya. Smrti dimasukkan sebagai pencapaian sebelumnya atau mendahului karena ia merupakan hasil positif dari proses pembiasaan dan mungkin telah dilakukan sejak kehidupan-kehidupan lampau sang penekun. Keyakinan yang teguh merupakan kondisi batin yang bisa diperoleh dalam kehidupan ini maupun yang lampau, tetapi masih terus dirasakan atau terpakai. Demikian juga halnya dengan semangat kuat yang menyertainya.

Semangat yang kuat tak akan tumbuh tanpa teguhnya iman. Satu keyakinan mendasar dari seorang penekun adalah adanya Isvara (Tuhan), itulah mengapa Isvarapranidhana disebut-sebut sejak awal. (BERSAMBUNG)

Source: Anatta Gotama l Warta Hindu Dharma NO. 510 2009






Berita Umat    (Sambungan hal 17)
mepedanaan Minggu (5/7), mepepada karya dan memberi banten Senin (6/7) dan puncak karya hingga mepeselang pada Selasa (7/7). "Karya di Semeru akan nyineb pada Minggu 12 Juli 2009 atau berarti betara ngerajek selama 11 hari," haturnya.
Terkait kesiapan pelaksanaan upacara, Tjok. Oka Artha menyampai¬kan, persiapan sudah dimulai sejak dua bulan lalu, termasuk sarana banten yang masih sebagian dikerjakan di Bali. Keterlibatan umat Hindu di Jawa Timur dan sekitar Semeru sangat baik mendukung kelancaran karya. Ia berharap, dukungan umat Hindu di Bali untuk ngaturang bakti dan ngayah mendukung suksesnya Pujawali Tawur Lebuh Gentuh di Pura Mandhara Giri Semeru. Sebab, Pura Semeru memiliki hubungan erat dengan pura-pura besar di Bali.